Pendahuluan
Seperti kita ketahui, terkadang
hari raya Idul Fitri atau Idul Adha jatuh pada hari Jumat. Misalnya saja yang
terjadi pada tahun ini (2009), Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah 1430 H akan
jatuh pada hari Jumat 27 Nopember 2009. Di sinilah mungkin di antara kita ada
yang bertanya, apakah sholat Jumat masih diwajibkan pada hari raya? Apakah
kalau seseorang sudah sholat Ied berarti boleh tidak sholat Jumat? Tulisan
ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu dengan melakukan
penelusuran pendapat ulama, dalil-dalilnya, dan pentarjihan (mengambil yang
terkuat) dari dalil-dalil tersebut.
Para ulama berbeda pendapat
mengenai hukum shalat Jumat yang jatuh bertepatan dengan hari raya, baik Idul
Fitri maupun Idul Adha. Dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah karya
Imam Ad Dimasyqi, disebutkan bahwa :
"Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jumat, maka menurut
pendapat Imam Asy Syafi'i yang shahih, bahwa shalat Jumat tidak gugur dari
penduduk kampung yang mengerjakan shalat Jumat. Adapun bagi orang yang datang
dari kampung lain, gugur Jumatnya. Demikian menurut pendapat Imam Asy Syafi'i
yang shahih. Maka jika mereka telah shalat hari raya, boleh bagi mereka terus
pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, bagi
penduduk kampung wajib shalat Jumat. Menurut Imam Ahmad, tidak wajib shalat
Jumat baik bagi orang yang datang maupun orang yang ditempati shalat Jumat.
Kewajiban shalat Jumat gugur sebab mengerjakan shalat hari raya. Tetapi
mereka wajib shalat zhuhur. Menurut 'Atha`, zhuhur dan Jumat gugur
bersama-sama pada hari itu. Maka tidak ada shalat sesudah shalat hari raya
selain shalat Ashar."
Ad Dimasyqi tidak menampilkan pendapat Imam Malik. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul
Mujtahid menyatakan pendapat Imam Malik sama dengan pendapat Imam Abu
Hanifah. Disebutkannya bahwa,"Imam Malik dan Abu Hanifah
berpendapat,"Jika berkumpul hari raya dan Jumat, maka mukallaf dituntut
untuk melaksanakannya semuanya...."
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa dalam masalah ini terdapat 4
(empat) pendapat :
Pertama, shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kota (ahlul amshaar
/ ahlul madinah) yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat.
Sedang bagi orang yang datang dari kampung atau padang gurun (ahlul
badaawi / ahlul 'aaliyah), yang di tempatnya itu tidak dilaksanakan
shalat Jumat, gugur kewajiban shalat Jumatnya. Jadi jika mereka --yakni orang
yang datang dari kampung -- telah shalat hari raya, boleh mereka terus
pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Inilah pendapat Imam Syafi'i. Ini pula
pendapat Utsman dan Umar bin Abdul Aziz.
Kedua, shalat Jumat wajib tetap
ditunaikan, baik oleh penduduk kota yang ditempati shalat Jumat maupun oleh
penduduk yang datang dari kampung. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam
Malik. Jadi, shalat Jumat tetap wajib dan tidak gugur dengan ditunaikannya
shalat hari raya.
Ketiga, tidak wajib shalat Jumat baik
bagi orang yang datang maupun bagi orang yang ditempati shalat Jumat. Tetapi
mereka wajib shalat zhuhur. Demikian pendapat Imam Ahmad.
Keempat, zhuhur dan Jumat gugur sama-sama
gugur kewajibannya pada hari itu. Jadi setelah shalat hari raya, tak ada lagi
shalat sesudahnya selain shalat Ashar. Demikian pendapat 'Atha` bin Abi Rabbah.
Dikatakan, ini juga pendapat Ibnu Zubayr dan 'Ali.
2. Pendapat Yang Rajih
Kami mendapatkan kesimpulan, bahwa pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat
Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahullah. Rincian hukumnya adalah sebagai
berikut:
Hukum Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya -yang
jatuh bertepatan dengan hari Jumat- gugurlah kewajiban atasnya untuk
menunaikan shalat Jumat. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga
tidak.
Hukum Kedua, bagi mereka yang telah
menunaikan shalat hari raya tersebut, lebih utama dan disunnahkan tetap
melaksanakan shalat Jumat.
Hukum Ketiga, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya
tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib melaksanakan
shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkan zhuhur.
Hukum Keempat, mereka yang pada pagi harinya
tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk menunaikan shalat
Jumat, tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat.
Keterangan mengenai masing-masing hukum tersebut akan diuraikan pada poin
berikutnya, Insya Allah.
2.1. Keterangan Hukum Pertama
Mengenai gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi mereka yang sudah melaksanakan
shalat hari raya, dalilnya adalah hadits-hadits Nabi SAW yang shahih, antara
lain yang diriwayatkan dari Zayd bin Arqam RA bahwa dia berkata : "Nabi
SAW melaksanakan shalat Ied (pada suatu hari Jumat) kemudian beliau
memberikan rukhshah (kemudahan/keringanan) dalam shalat Jumat. Kemudian Nabi
berkata,'Barangsiapa yang berkehendak (shalat Jumat), hendaklah dia
shalat." [Shallan nabiyyu shallallaahu 'alayhi wa sallama al 'iida
tsumma rakhkhasha fil jumu'ati tsumma qaala man syaa-a an yushalliya
falyushalli] (HR. Al Khamsah, kecuali At Tirmidzi. Hadits ini menurut
Ibnu Khuzaimah, shahih).
Diriwayatkan dari Abu Hurayrah RA
bahwa Nabi SAW bersabda : "Sungguh telah berkumpul pada hari kalian ini
dua hari raya. Maka barangsiapa berkehendak (shalat hari raya), cukuplah
baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi. Dan sesungguhnya
kami akan mengerjakan Jumat." [Qad ijtama'a fii yawmikum haadza
'iidaani, fa man syaa-a ajza-a-hu minal jumu'ati, wa innaa mujammi'uun]
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari
sanad Abu Shalih, dan dalam isnadnya terdapat Baqiyah bin Walid, yang
diperselisihkan ulama. Imam Ad Daruquthni menilai, hadits ini shahih. Ulama
hadits lain menilainya hadits mursal).
Hadits-hadits ini merupakan dalil bahwa shalat Jumat setelah shalat hari
raya, menjadi rukhshah. Yakni, maksudnya shalat Jumat boleh dikerjakan dan
boleh tidak. Pada hadits Zayd bin Arqam di atas (hadits pertama) Nabi SAW
bersabda "tsumma rakhkhasha fi al jumu'ati" (kemudian Nabi
memberikan rukhshash dalam [shalat] Jumat). Ini menunjukkan bahwa setelah
shalat hari raya ditunaikan, shalat hari raya menjadi rukhshah
(kemudahan/keringanan).
Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, rukhshah adalah hukum yang disyariatkan
untuk meringankan hukum azimah (hukum asal) karena adanya suatu udzur
(halangan), disertai tetapnya hukum azimah namun hamba tidak diharuskan
mengerjakan rukshshah itu.
Jadi shalat Jumat pada saat hari
raya, menjadi rukhshah, karena terdapat udzur berupa pelaksanaan shalat hari
raya. Namun karena rukhshah itu tidak menghilangkan azimah sama sekali, maka
shalat Jumat masih tetap disyariatkan, sehingga boleh dikerjakan dan boleh
pula tidak dikerjakan. Hal ini diperkuat dan diperjelas dengan sabda Nabi
dalam kelanjutan hadits Zayd bin Arqam di atas "man syaa-a an
yushalliya falyushalli" (barangsiapa yang berkehendak [shalat
Jumat], hendaklah dia shalat). Ini adalah manthuq (ungkapan tersurat) hadits.
Mafhum mukhalafah (ungkapan tersirat) dari hadits itu -dalam hal ini berupa
mafhum syarat, karena ada lafazh "man" sebagai syarat- adalah
"barangsiapa yang tidak berkehendak shalat Jumat, maka tidak perlu
shalat Jumat."
Kesimpulannya, orang yang telah menjalankan shalat hari raya, gugurlah
kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh menunaikan shalat
Jumat dan boleh juga tidak.
Mungkin ada pertanyaan, apakah
gugurnya shalat Jumat ini hanya untuk penduduk kampung/desa (ahlul badaawi
/ ahlul 'aaliyah) --yang di tempat mereka tidak diselenggarakan shalat
Jumat-- sedang bagi penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) ----yang di
tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat-- tetap wajib shalat Jumat ?
Yang lebih tepat menurut kami,
gugurnya kewajiban shalat Jumat ini berlaku secara umum, baik untuk penduduk
kampung/desa maupun penduduk kota. Yang demikian itu karena nash-nash hadits
di atas bersifat umum, yaitu dengan adanya lafahz "man"
(barangsiapa/siapa saja) yang mengandung arti umum, baik ia penduduk kampung
maupun penduduk kota. Dan lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak
terdapat dalil yang mengkhususkannya. Dalam hal ini tidak ada dalil yang
mengkhususkan (takhsis) keumumannya, maka tetaplah lafazh "man"
dalam hadits-hadits di atas berlaku secara umum.
2.2. Keterangan Hukum Kedua
Bagi mereka yang sudah shalat hari raya, mana yang lebih utama (afdhal),
menunaikan shalat Jumat ataukah meninggalkannya ? Pada dasarnya, antara
azimah (hukum asal) dan rukhshah kedudukannya setara, tak ada yang lebih
utama daripada yang lain, kecuali terdapat nash yang menjelaskan keutamaan
salah satunya, baik keutamaan azimah maupun rukhshah.
Namun dalam hal ini terdapat nash yang menunjukkan keutamaan shalat Jumat
daripada meninggalkannya. Pada hadits Abu Hurayrah RA (hadits kedua) terdapat
sabda Nabi "innaa mujammi'uun" (Dan sesungguhnya kami akan
mengerjakan Jumat). Ini menunjukkan bahwa meskipun Nabi SAW menjadikan shalat
Jumat sebagai rukhshah, yakni boleh dikerjakan dan boleh tidak, akan tetapi
Nabi Muhammad SAW faktanya tetap mengerjakan shalat Jumat. Hanya saja
perbuatan Nabi SAW ini tidak wajib, sebab Nabi SAW sendiri telah membolehkan
untuk tidak shalat Jumat. Jadi, perbuatan Nabi SAW itu sifatnya sunnah, tidak
wajib.
2.3. Keterangan Hukum Ketiga
Jika orang yang sudah shalat hari raya memilih untuk meninggalkan shalat
Jumat, wajibkah ia shalat zhuhur ? Jawabannya, dia wajib shalat zhuhur, tidak
boleh meninggalkannya.
Wajibnya shalat zhuhur itu, dikarenakan nash-nash hadits yang telah disebut
di atas, hanya menggugurkan kewajiban shalat Jumat, tidak mencakup
pengguguran kewajiban zhuhur. Padahal, kewajiban shalat zhuhur adalah
kewajiban asal (al fadhu al ashli), sedang shalat Jumat adalah hukum
pengganti (badal), bagi shalat zhuhur itu. Maka jika hukum pengganti
(badal) -yaitu shalat Jumat- tidak dilaksanakan, kembalilah tuntutan syara'
kepada hukum asalnya, yaitu shalat zhuhur. Yang demikian itu adalah
mengamalkan Istish-hab, yaitu kaidah hukum untuk menetapkan berlakunya hukum
asal, selama tidak terdapat dalil yang mengecualikan atau mengubah berlakunya
hukum asal.
Dengan demikian, jika seseorang
sudah shalat hari raya lalu memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, maka ia wajib
melaksanakan shalat zhuhur.
2.4. Keterangan Hukum Keempat
Mereka yang pada pagi harinya
tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk tetap menunaikan
shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat.
Dengan kata lain, rukhshah untuk meninggalkan shalat Jumat ini khusus untuk
mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya. Mereka yang tidak
melaksanakan shalat hari raya, tidak mendapat rukhshah, sehingga
konsekuensinya tetap wajib hukumnya shalat Jumat.
Dalilnya adalah hadits Abu
Hurayrah (hadits kedua) dimana Nabi SAW bersabda "fa man syaa-a,
ajza-a-hu 'anil jumu'ati" (Maka barangsiapa yang berkehendak [shalat
hari raya], cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat
lagi). Ini adalah manthuq hadits. Mafhum mukhalafahnya, yakni orang yang tak
melaksanakan shalat hari raya, ia tetap dituntut menjalankan shalat Jumat.
Imam Ash Shan'ani dalam Subulus
Salam ketika memberi syarah (penjelasan) terhadap hadits di atas berkata
: "Hadits tersebut adalah dalil bahwa shalat Jumat -setelah
ditunaikannya shalat hari raya-- menjadi rukhshah. Boleh dikerjakan dan boleh
ditinggalkan. Tetapi (rukhshah) itu khusus bagi orang yang menunaikan shalat
Ied, tidak mencakup orang yang tidak menjalankan shalat Ied."
Jadi, orang yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak termasuk yang
dikecualikan dari keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat. Yang
dikecualikan dari keumuman nash itu adalah yang telah shalat hari raya. Maka
dari itu, orang yang tidak shalat hari raya, wajib atasnya shalat Jumat.
3. Meninjau Pendapat Lain
3.1. Pendapat Imam Syafi'i
Pada dasarnya, Imam Syafii tetap mewajibkan shalat Jumat yang jatuh
bertepatan pada hari raya. Namun beliau menetapkan kewajiban tersebut hanya
berlaku bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar). Adapun penduduk
desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi) yang datang ke
kota untuk shalat Ied (dan shalat Jumat), sementara di tempatnya tidak
diselenggarakan shalat Jumat, maka mereka boleh tidak mengerjakan shalat
Jumat.
Sebenarnya Imam Syafi'i
berpendapat seperti itu karena menurut beliau, hadits-hadits yang menerangkan
gugurnya kewajiban shalat Jumat pada hari raya bukanlah hadits-hadits shahih.
Sehingga beliau pun tidak mengamalkannya. Inilah dasar pendapat Imam Syafi'i.
Menanggapi pendapat Imam Syafi'i tersebut, Imam Ash Shan'ani dalam Subulus
Salam berkata : "Asy Syafi'i dan segolongan ulama berpendapat bahwa
shalat Jumat tidak menjadi rukhshah. Mereka berargumen bahwa dalil kewajiban
shalat Jumat bersifat umum untuk semua hari (baik hari raya maupun bukan).
Sedang apa yang disebut dalam hadits-hadits dan atsar-atsar (yang menjadikan
shalat Jumat sebagai rukhshah) tidaklah cukup kuat untuk menjadi takhsis
(pengecualian) kewajiban shalat Jumat, sebab sanad-sanad hadits itu telah
diperselisihkan oleh ulama. Saya (Ash Shan'ani) berkata,'Hadits Zayd bin
Arqam telah dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah...maka hadits tersebut dapat
menjadi takhsis (pengecualian)..."
Dengan demikian, jelaslah bahwa Imam Syafi'i tidak menilai hadits Zayd bin
Arqam tersebut sebagai hadits shahih, sehingga beliau tidak menjadikannya
sebagai takhsis yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat. Beliau kemudian
berpegang kepada keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat pada semua hari
(QS Al Jumu'ah ayat 9), baik hari raya maupun bukan. Tapi, Imam Ash Shan'ani
menyatakan, bahwa hadits Zayd bin Arqam adalah shahih menurut Ibnu Khuzaimah.
Dalam hal ini patut kiranya
ditegaskan, bahwa penolakan Imam Syafi'i terhadap hadits Zayd bin Arqam
tidaklah mencegah kita untuk menerima hadits tersebut. Penolakan Imam Syafi'i
terhadap hadits Zayd bin Arqam itu tidak berarti hadits tersebut --secara
mutlak-- tertolak (mardud). Sebab sudah menjadi suatu kewajaran dalam
penilaian hadits, bahwa sebuah hadits bisa saja diterima oleh sebagian
muhaddits, sedang muhaddits lain menolaknya. Dalam kaitan ini Imam Taqiyuddin
An Nabhani dalam Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz I berkata :
"...(kita tidak boleh cepat-cepat menolak suatu hadits) hanya karena
seorang ahli hadits tidak menerimanya, karena ada kemungkinan hadits itu
diterima oleh ahli hadits yang lain. Kita juga tidak boleh menolak suatu
hadits karena para ahli hadits menolaknya, karena ada kemungkinan hadits itu
digunakan hujjah oleh para imam atau umumnya para fuqaha... "
Maka dari itu, kendatipun hadits Zayd bin Arqam ditolak oleh Imam Syafi'i,
tidak berarti kita tidak boleh menggunakan hadits tersebut sebagai dalil
syar'i. Sebab faktanya ada ahli hadits lain yang menilainya sebagai hadits
shahih, yakni Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana penjelasan Imam Ash Shan'ani.
Jadi, beristidlal dengan hadits Zayd bin Arqam tersebut tetap dibenarkan,
sehingga hukum yang didasarkan pada hadits tersebut adalah tetap berstatus
hukum syar'i.
3.2. Pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah
Imam Malik dan Abu Hanifah tetap mewajibkan shalat Jumat, baik bagi penduduk
kota (ahlul madinah/ahlul amshaar), maupun penduduk desa/kampung atau
penduduk padang gurun (ahlul badawi). Ibnu Rusyd menjelaskan argumentasi
kedua Imam tersebut : "Imam Malik dan Abu Hanifah berkata, 'Shalat hari
raya adalah sunnah, sedang shalat Jumat adalah fardhu, dan salah satunya
tidak dapat menggantikan yang lainnya. Inilah yang menjadi prinsip asal (al
ashlu) dalam masalah ini, kecuali jika terdapat ketetapan syara', maka wajib
merujuk kepadanya..."
Dari keterangan itu, nampak bahwa Imam Malik dan Abu Hanifah juga tidak
menerima hadits-hadits yang menerangkan gugurnya shalat Jumat pada hari raya.
Konsekuensinya, beliau berdua kemudian berpegang pada hukum asal masing-masing,
yakni kesunnahan shalat Ied dan kewajiban shalat Jumat. Dasar pendapat mereka
sebenarnya sama dengan pendapat Imam Syafi'i. Namun demikian, beliau berdua
memberikan perkecualian, bahwa hukum asal tersebut dapat berubah, jika
terdapat dalil syar'i yang menerangkannya.
Atas dasar itu, karena terdapat
hadits Zayd bin Arqam (yang shahih menurut Ibnu Khuzaimah) atau hadits Abu
Hurayrah RA (yang shahih menurut Ad Daruquthni), maka sesungguhnya
hadits-hadits tersebut dapat menjadi takhsis hukum asal shalat Jumat, yakni
yang semula wajib kemudian menjadi rukhshah (tidak wajib).
Dengan demikian, yang berlaku
kemudian adalah hukum setelah ditakhsis, bukan hukum asalnya, yakni bahwa
shalat Jumat itu menjadi rukhshah bagi mereka yang menunaikan shalat hari
raya, dan statusnya menjadi tidak wajib. Inilah pendapat yang lebih tepat
menurut kami.
3.3. Pendapat 'Atha bin Abi Rabah
'Atha bin Abi Rabbah berpendapat bahwa jika hari Jumat bertepatan dengan hari
raya, maka shalat Jumat dan zhuhur gugur semuanya. Tidak wajib shalat apa pun
pada hari itu setelah shalat hari raya melainkan shalat 'Ashar.
Imam Ash'ani menjelaskan bahwa
pendapat 'Atha` tersebut didasarkan pada 3 (tiga) alasan, yaitu :
Pertama, berdasarkan perbuatan sahabat Ibnu Zubayr RA sebagaimana
diriwayatkan Imam Abu Dawud, bahwasanya : "Dua hari raya (hari raya dan
hari Jumat) telah berkumpul pada satu hari yang sama. Lalu dia (Ibnu Zubayr)
mengumpulkan keduanya dan melakukan shalat untuk keduanya sebanyak dua rakaat
pada pagi hari. Dia tidak menambah atas dua rakaat itu sampai dia mengerjakan
shalat Ashar." ['Iidaani ijtama'aa fii yawmin waahidin, fajamma'ahumaa
fashallahumaa rak'atayni bukratan lam yazid 'alayhaa hattaa shallal 'ashra]
Kedua, shalat Jumat adalah hukum asal
(al ashl) pada hari Jumat, sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al
badal) bagi shalat Jumat. Maka dari itu, jika hukum asal telah gugur,
otomatis gugur pulalah hukum penggantinya.
Ketiga, yang zhahir dari hadits Zayd bin Arqam, bahwa Rasul SAW telah
memberi rukhshah pada shalat Jumat. Namun Rasul SAW tidak memerintahkan untuk
shalat zhuhur bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jumat.
Demikianlah alasan pendapat 'Atha` bin Abi Rabbah. Imam Ash Shan'ani tidak
menerima pendapat tersebut dan telah membantahnya. Menurut beliau, bahwa
setelah shalat hari raya Ibnu Zubayr tidak keluar dari rumahnya untuk shalat
Jumat di masjid, tidaklah dapat dipastikan bahwa Ibnu Zubayr tidak shalat
zhuhur. Sebab ada kemungkinan (ihtimal) bahwa Ibnu Zubayr shalat zhuhur di
rumahnya. Yang dapat dipastikan, kata Imam Ash Shan'ani, shalat yang tidak
dikerjakan Ibnu Zubayr itu adalah shalat Jumat, bukannya shalat zhuhur.
Untuk alasan kedua dan ketiga, Imam Ash Shan'ani menerangkan bahwa tidaklah
benar bahwa shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) sedang shalat zhuhur
adalah hukum pengganti (al badal). Yang benar, justru sebaliknya, yaitu
shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat merupakan penggantinya.
Sebab, kewajiban shalat zhuhur ditetapkan lebih dahulu daripada shalat Jumat.
Shalat zhuhur ditetapkan kewajibannya pada malam Isra' Mi'raj, sedang
kewajiban shalat Jumat ditetapkan lebih belakangan waktunya (muta`akhkhir).
Maka yang benar, shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat adalah
penggantinya. Jadi jika shalat Jumat tidak dilaksanakan, maka wajiblah
kembali pada hukum asal, yakni mengerjakan shalat zhuhur.
4. Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jika hari raya
bertepatan dengan hari Jumat, hukumnya adalah sebagai berikut :
Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya (Ied),
gugurlah kewajiban shalat Jumat atasnya. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat
dan boleh juga tidak. Namun, disunnahkan baginya tetap melaksanakan shalat
Jumat.
Kedua, jika orang yang telah menunaikan
shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib
atasnya melaksanakan shalat zhuhur. Tidak boleh dia meninggalkan zhuhur.
Ketiga, adapun orang yang pada pagi
harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya shalat Jumat.
Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Tidak boleh pula
dia melaksanakan shalat zhuhur.
Demikianlah hasil pentarjihan kami
untuk masalah ini sesuai dalil-dalil syar'i yang ada. Wallahu a'lam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al
Wadhih fi Ushul Al Fiqh. Cetakan Kedua. Beirut : Darul Bayariq. 417 hal.
Ad Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy Syafi'i. 1993. Rohmatul Ummah
(Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A`immah). Terjemahan oleh Sarmin Syukur dan
Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 554 hal.
Ash Shan'ani, Muhammad bin Ismail
Al Kahlani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz II. Bandung : Maktabah
Dahlan. 224 hal.
Ash Shiddieqi, T.M. Hasbi. 1981. Koleksi Hadits Hukum (Al Ahkamun
Nabawiyah). Jilid IV. Cetakan Kedua. Bandung : PT. Alma'arif. 379 hal.
An Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Ketiga
(Ushul Fiqh). Cetakan Kedua. Al Quds : Min Mansyurat Hizb Al Tahrir. 492
hal.
----------. 1994. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Pertama. Cetakan
Keempat. Beirut : Darul Ummah. 407 hal.
Ibnu Khalil, 'Atha`. 2000. Taisir Al Wushul Ila Al Ushul. Cetakan
Ketiga. Beirut : Darul Ummah. 310 hal.
Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Juz I.
Beirut : Daarul Fikr. 399 hal.
Raghib, Ali. 1991. Ahkamush Shalat. Cetakan Pertama. Beirut : Daar An
Nahdhah Al Islamiyah.132 hal.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah). Jilid 2. Cetakan
Ketujuhbelas. Terjemahan oleh Mahyuddin Syaf. Bandung : PT. Al Ma'arif. 229
hal
Syirbasyi, Ahmad. 1987. Himpunan Fatwa (Yas`alunaka fi Ad Din wa Al Hayah).
Terjemahan oleh Husein Bahreisj. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 598
hal.
|