Halaman

Sabtu, 10 Oktober 2009

Machiavelli dan para penjilat

Pada 1532, sebuah buku terbit. Judulnya Il Principe. Niccolo Machiavelli, sang penulis, membutuhkan tujuh tahun untuk merampungkan kitab yang terbilang tipis ini. Ketika Il Principe dirilis, ajal telah menjemput Machiavelli lima tahun sebelumnya. Usianya 58 saat itu.
Sulit dimungkiri, usia ketenaran Il Principe jauh lebih panjang ketimbang umur penyusunnya. Karya itu masih dipelajari, dipetik sebagai inspirasi—barangkali juga oleh para elit politik kita yang lagi asyik-masyuk merancang koalisi.
Itulah pula yang terjadi pada saya. Teringat manuver-manuver para politisi, saya tergerak untuk menjenguk lagi buku tersebut. Tentu, bukan edisi asli yang berbahasa Italia, kampung halaman Machiavelli, tapi edisi bahasa Indonesia yang terbit pertama kali saat Orde Baru masih kuat mencengkeram.
Salah satu bab yang sontak menggoda adalah Para Penjilat Harus Disingkirkan. Entah kenapa. Di sana, Machiavelli menulis, ”Tidak ada cara lain untuk menjaga diri bebas dari penjilatan ini daripada memberi tahu semua orang bahwa Anda tidak akan marah jika mereka mengatakan hal yang sebenarnya.”
Sebaliknya, “Kalau ia (raja atau pemegang kekuasaan lain, YA) mengetahui seseorang bersikap ragu dalam mengatakan kebenaran, ia harus marah.”
Masalahnya, Machiavelli melanjutkan, “Andai semua orang dapat menyampaikan kebenaran, orang tidak akan menghormati Anda lagi. Karena itu, seorang raja yang pintar akan menggunakan jalan tengah, memilih orang-orang bijaksana untuk mengurusi pemerintahan dan hanya mengizinkan mereka yang boleh mengatakan kebenaran, dan hanya mengenai masalah yang ditanyakan kepada mereka, masalah lain tidak.”
Pria kelahiran Florence itu percaya, raja mesti menjadi pusat inisiatif. “…seorang raja harus selalu meminta nasehat. Tetapi hanya kalau ia berkenan berbuat demikian, tidak karena orang lain menghendakinya…ia harus melarang secara mutlak usaha-usaha untuk memberikan nasehat kepadanya kecuali ia menghendakinya,” tulis Machiavelli.
Ya, betapa relevan isu yang dihembuskan Machiavelli. Sejak dulu, kekuasaan selalu disesaki orang-orang bermental penjilat: memanipulasi kabar dengan semangat Asal Bapak Senang (ABS) atau melakoni hal-hal tak patut lain demi kedekatan. Kekuasaan itu menggiurkan. Terlempar dari lingkaran kekuasaan bukan perkara yang gampang dihadapi secara rileks.
Cuma, Il Principe banyak disalahpahami. Sebagian orang melihatnya sebagai kumpulan petuah atau nasehat atau sesuatu yang seharusnya dijalankan. Sebagian lain, memosisikannya sekadar potret riil kenyataan politik. Jika melihat ke posisi pertama, nama baik Machiavelli tumbang. Ia dianggap sebagai “bapak ideologis” dari otoriterisme. Bila melihat ke posisi kedua, boleh jadi ia justru menjelma ilmuwan cemerlang.
Lepas dari kontroversi itu, Il Principe memang masih penting dibaca. Entah untuk diamini atau justru disangkal. Setelah 490 tahun, isu-isu yang dibahasnya tetap kontekstual. Juga di saat hiruk-pikuk politik kini. Di sana, niscaya kaum penjilat beraksi.
by Yus Ariyanto

Tidak ada komentar: