Halaman

Senin, 14 Desember 2009

Apakah Indonesia negara demokratis?

Indonesia lahir sebagai sebuah negara di akhir perang dunia kedua. Tepatnya ketika pasukan sekutu pimpinan Amerika Serikat berhasil mengalahkan Jerman dan menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki untuk mengakhiri perang di Pasifik. Seperti tertulis pada sejarah, Indonesia menetapkan 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaannya.

Yang istimewa dari kemerdekaan itu adalah rangkaian kata-kata dalam pembukaan konstitusi republik yang berpihak pada kemerdekaan universal, mencerdaskan bangsa dan penghormatan pada hak individu.

Pembukaan konstitusi itu tidak dipikirkan dan dibuat dalam kurun waktu singkat. Namun, pemikiran tentang kemerdekaan dan kebebasan sebagai suatu bangsa dalam pergaulan diantara bangsa-bangsa yang lain sudah dirancang sejak masa sarjana muda Indonesia kembali dari perjalanan akademisnya.

Para sarjana yang belajar ke negeri Belanda seperti Hatta dan Sjahrir, yang pergi ke Belanda karena politik etis Ratu Wilhelmina, belajar dengan cepat tentang kemerdekaan Perancis dan Amerika Serikat. Prinsip-prinsip tentang liberate, fraternite, dan egaliterite merasuk cepat pada pikiran-pikiran anak muda Indonesia kala itu. Sampai mereka di Indonesia organisasi-organisasi yang berjuang atas nama kemerdekaan dan kebebasan muncul dimana-mana.

Slogan-slogan tentang kebebasan dan kemerdekaan berkibar dimana-mana. Kebebasan seperti kebebasan untuk berekspresi dan kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri merupakan salah satu misi utama yang diperjuangkan.

Kebebasan menyangkut pada hak-hak individu pribumi untuk bertindak tanpa paksaan dan dengan paksaan. Beragam implementasi kebebasan itu sendiri seperti, mendapatkan informasi dan menggunakan informasi serta menyampaikan informasi. Hak individu untuk bertindak dan berbuat tanpa gangguan dari penguasa. Kemerdekaan menentukan nasib sendiri terkait dengan hak-hak ekonomi dan sipil-politik.

Sebagaimana diketahui, pemerintah kolonial Belanda di awal abad 1900-an, sangat tidak mentolerir tindakan-tindakan anak muda terkait kampanye dan pendidikan rakyat. Mereka anggap hal itu bisa membuat keonaran dan kerusuhan umum. Salah satu contoh praktek represif kolonial adalah saat mengadili Soekarno, Gatot Mangkoepradja, Maskoen Soemadiredja, dan Soepriadinata di Bandung. Kolonial menganggap aktivitas keempat anak muda itu akan mengancam pemerintah yang sah.

Gerakan kebebasan dan kemerdekaan ini memang dimotori oleh azas-azas Revolusi Perancis dan Amerika. Sikap politik liberalisme ini di awal abad ke-19 menjadi semangat politik di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Kaum liberal menginisiasi prinsip kebebasan. Pada dasarnya mereka menganggap manusia sebagai makluk rasional. Gagasan-gagasan dari pemikiran liberal ini diantaranya adalah:[1]

Pertama: Pembatasan tindakan pemerintah yang aktifitas dan wewenang kekuasaannya harus terikat pada terjaminnya hak-hak kebebasan.

Kedua; Persoalan-persoalan individu dan negara atau individu dan individu harus berdasarkan hukum. Artinya secara hukum, paham ini menghendaki negara berciri negara hukum yang kuat.

Lantas bagaimana Indonesia sejak kemerdekaan hingga hari ini?

Cukup pelik menyatakan Indonesia berstatus A atau B. Dihitung sejak era reformasi, ketika suara kebebasan bergema seperti era perjuangan kemerdekaan, desakan agar negara menghormati hak-hak individu gencar diperjuangkan. Hasilnya, instrumen negara malah membuat beberapa produk aturan yang berimplikasi pada pemenjaraan warga negara.

Dalam sistem hukum Indonesia, muatan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dikenal tiga jenis tindak pidana terkait dengan penghinaan, yaitu pencemaran, fitnah dan penghinaan ringan. Penghinaan atau defamation secara harfiah didefinisikan sebagai sebuah tindakan yang merugikan nama baik dan kehormatan seseorang.

Masih adanya penggunaan ketentuan itu dalam sistem hukum Indonesia, pro dan kontra terus berlanjut. Sisi yang pro menghapus ketentuan defamation merupakan aturan pembatasan dalam kebebasan berekspresi dan berpendapat yang diduga hanya untuk membatasi akses masyarakat terhadap informasi. Sementara pembuat UU menyatakan hal ini untuk mencegah warga negara saling menghina di depan umum.

Pihak-pihak seperti Aliansi Jurnalis Independen, Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia pernah menggugat penghapusan pasal-pasal ini ke Mahkamah Konstitusi. Tapi pihak Mahkamah tidak mengabulkan gugatan mereka dan mempertahankan keberadaan pasal-pasal penghinaan.

Pasca keputusan itu, pembuat UU malah mengeluarkan produk baru undang-undang. Pasal-pasal penghinaan tidak hanya dimuat dalam KUHP, tapi juga dalam undang-undang baru yang disebut UU Informasi dan Transfer Elektronik. Isu yang mengemuka UU ITE malah lebih ”galak” dibanding KUHP memberi ruang yang samar apakah seseorang bisa membela diri atau tidak.

Sebagaimana dalam KUHP, seseorang dianggap mencemarkan nama baik bisa membela diri jika menggunakan pendapat atau tulisannya untuk kepentingan umum atau membela diri. Sedangkan dalam UU ITE hal ini tidak diatur.

Makin kuatnya pasal-pasal penghinaan dalam sistem hukum Indonesia lantas menimbulkan pertanyaan akan kemana nasib kebebasan itu sendiri di negeri yang mengaku demokratis.

[1] Leaflet, edisi; Individualisme, Friedrich Naumann Stiftung.
by Agus Rakasiwi (Bandung)
Copyright © Forum Politisi 2009

Tidak ada komentar: